Selasa, 24 November 2015

Ekonomi dualisme Indonesia



DUALISME EKONOMI PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA



MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Kasimanuddin Ismain






Oleh:
M. Alfan Nurofi                      130731615711







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Oktober 2015






DAFTAR ISI
                                                                                                                        Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................................  i
BAB I PENDAHULUAN                                                    
A. Latar Belakang ...........................................................................................  1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................  2
C. Tujuan .........................................................................................................  2
 
BAB II PEMBAHASAN
A.    Keadaan Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia......................................... 3
B.     Terjadinya Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia...................... 4
C.     Dampak Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia.......................... 7
                                                                                 
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................  9
B. Saran .........................................................................................................  10

DAFTAR RUJUKAN............................................................................................. 11











BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada sejarah perkembangan perekonomian Indonesia telah mengalami tahapan-tahapan sistem perekonomian mulai dari yang paling sederhana hingga menuju sistem perekonomian yang lebih maju. Pada tahapan sistem ekonomi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pra kapitalisme, tahap kapitalisme dan tahap post kapitalisme (dualisme ekonomi). Pada tahap pra kapitalisme ini dinamakan dengan sistem ekonomi tradisional. Yang mana pendorong motivasi masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi yang paling kuat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Biasanya pada sistem ekonomi tradisional ini, masyarakat lebih condong pada kegiatan sektor pertanian. Kemudian pada tahap kapitalisme ini biasa dinamakan dengan sistem ekonomi modern. Pada tahapan kapitalisme ini dibagi juga menjadi tiga tahapan yakni tahap permulaan, tahap tingkat tinggi dan tingkat akhir. Pada tingkat permulaan motivasinya adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat saat transaksi penjualan produk. Sedangkan pada kapitalisme yang tingkat tinggi motivasinya adalah memperluas penjualan produk dengan memperbanyak cabang industri seluruh, kemudian berubah menjadi usaha sosial dengan membantu memajukan pendidikan, memberantas kemiskinan dan infrastuktur, yang pada tingkat akhirnya kegiatan perekonomian tertuju  pada kepentingan masyarakat ( Soetrisno, 1984:118).
Pada proses masuknya ekonomi kapitalisme ini terjadi pada saat  bangsa barat mulai menjajah Indonesia. Tetapi setelah pasca kapitalisme ini, terjadilah keseimbangan antara sekonomi kapitalis dengan ekonomi tradsional. Dari adanya kedua sistem ekonomi yang berdampingan dengan sifat yang berbebda tersebut oleh J.H Boeke disebut dengan istilah sistem dualistik (dualistische economie) (Soetrisno, 1984:119).  Tetapi dalam hal tersebut dapat diketahui bahwa dualisme ekonomi pada masa pemerintahan kolonial Belanda kurang berjalan baik.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan ekonomi masa kolonial di Indonesia?
2.      Bagaimana terjadinya dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia?
3.      Bagaimana dampak dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui keadaan ekonomi masa kolonial di Indonesia
2.      Memaparkan terjadinya dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia
3.      Menjelaskan dampak dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keadaan Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia

Perkembangan ekonomi yang terjadi saat Belanda menduduki Indonesia ternyata memakai model-model yang berbeda. Baik pada masa VOC ataupun kolonial. Sistem yang diterapkan pada dasarnya berusaha memakai model konsep ekonomi barat. Apabila sepenuhnya sistem dari barat diterapkan pada perekonomian saat itu ternyata tidak relevan. Masyarakat pribumi pada umunya masih memakai konsep ekonomi tradisional. Sistem ekonomi barat dapat merusak struktur sosial yang sudah ada.
Sebelum bangsa Barat mulai menjajah Pulau Jawa, perekonomian Jawa masih digerakan oleh rakyat dengan ditandai kesibukan sehari-hari rakyat yang hidup sebagai petani, nelayan dan pedagang (Depdikbud, 1978:48). Sehingga dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa pada saat itu masih bersifat tradisisonaln karena motivasi pendorong masayarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Soetrisno (1984:120)Selain dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut masyarakat juga masih dipengaruhi oleh tradisi, yaitu tingkah laku masyarakat yang masih terikat pad pola-pola tertentu seperti penentuan upah, pembagian kerja, pembagian jam kerja dan penggunaan peralatan modal yang masih bersifat tradisional”.
Pada tingkah laku masyarakat tradisional Jawa dalam kegiatan ekonomi tersebut dapat dilihat dari kebiasaannya seperti menanam padi. Kegiatan perekonimian erat hubungannya denga pasar tradisional. Pada pasar tradisional ini lahir dari ekinginan manusia dalam mempeproleh bahan kebutuhan dimana terjadi transaksi antar manusia. Transaksi tersebut terjadi misalnya anatar petani, peternak, nelayan terjadi tukar menukar hasil produksi mereka masing-masing. Malano (2011:1) mengatakan “Pertukaran tersebut pada awalnya berlangsung diberbagai tempat, tetapi lama kelamaan tercapai kesepakatan bersama untuk menentukan suatu lokasi yang menajdi pusat barter”.

Dan pada masa itu kedaulatan raja mataram lah yang masih dipegang oleh masyarakat. Baru setelah mataram mulai mengalami kemunduruan sampai berujung pada perjanjian Gianti yang menandai berakhirnya kedaulatan Mataram karena sudah takluk pada pemerintah Belanda waktu itu. Dari sinilah kemudian pihak VOC atau Belanda mulai melakukan aksinya di Indonesia khususnya Jawa. Pola relasi feodalistik desa dan pusat-pusat kekuasaan, di mana desa-desa memberikan upeti atau hasil panennya kepada raja tanpa diganti masih tetap berlangsung. Melalui relasi semacam ini VOC dapat mengeruk keuntungan dari perdagangan dengan para raja dan elit lokal. Perjanjian Gianti juga menjadi awal dari Kapitalisme Belanda di Jawa. Pada tahap ini, Belanda mengembangkan Kapitalisme permulaan, yaitu dengan mencari laba sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sebenarnya VOC tidak memiliki kebebasan untuk menguasai tenaga kerja di seluruh Jawa. Setelah Priangan jatuh ke tangan VOC, kemudian mereka memberlakukan Priangan stelsel di tempat itu. Priangan stelsel merupakan strategi VOC untuk mengerahkan tenaga rakyat lokal melalui seruan bupati dan adipati  untuk menanam kopi di sebagian lahan mereka. Kopi itu kemudian dibeli VOC dengan harga yang dipatok sepihak. Kopi merupakan sumber pendapatan penting bagi VOC. Di wilayah lain, seperti pesisir utara dan timur Jawa, VOC juga melakukan kesepakatan yang sama dengan para penguasa lokal untuk menambah kas negara melalui sektor agraria. Namun bedanya, VOC tidak turun langsung ke lapangan. Mereka menyerahkan mekanisme produksi ke para pejabat lokal agar alir hasil produksi terjamin untuk VOC. Pada akhir abad ke 18, VOC mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan tersebut karena VOC hanya mengandalkan monompoli perdagangan saja, tidak melakukan kendali langsung atas produksi, ditambah dengan korupsi oleh pejabat VOC. Akhirnya pada tahun 1799, VOC yang korup dan selalu merugi dibubarkan (Ahmad, 2010:65).

B.     Terjadinya Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia
Kapitalisme dalam ekonomi merupakan sebuah model yang lebih maju ketimbang sistem ekonomi tradisional. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dinamis, sedang ekonomi tradisional cenderung statis. Kapitalisme memakai modal-modal yang dimiliki oleh swasta. Sedangkan ekonomi tradisional masih mementingkan asas kekeluargaan atau kebersamaan. Masing-masing, baik ekonomi kapitalisme dan tradisional tidak dapat berkembang bersama. Mereka berdiri sendiri-sendiri saat proses perekonomian berjalan. Model perekonomian yang seperti itu dikenal sebagai ekonomi dualistis. Dan dalam sistem tradisional, relasi yang digunakan dengan prinsip sosial dan kultural.
Geertz, dalam (Nagazumi, 1986:15-16) membagi tahap-tahap proses perekonomian yang dipakai Belanda saat menguasai Indonesia dalam tiga periode, Yaitu masa VOC (abad 17-18), Sistem Tanam Paksa (1830-1870), Sistem Perkebunan Swasta (1870-1941). Dari tiga periode tadi sistem Tanam Paksa adalah masa dimana pola ekonomi dualistis mulai maju dan munculnya involusi. Lalu ekonomi dualistis dan involusi maju dengan pesat terjadi pada masa Perkebunan Swasta.
Pada masa itulah menurut Geertz, sektor ekspor dan impor dalam kondisi yang tidak seimbang. Sistem ekonomi tradisional yang mengandalkan pertanian kolonial dipaksa untuk mengikuti sektor ekspor yang sedang berkembang didunia dengan pola ekologi. Itu merupakan ciri tetap perekoniman kita saat dikuasai Belanda antara 1619-1942 (Nagazumi, 1986:15). Pada kurun waktu 1619-1942, Belanda mengembangkan produk pertanian agar bisa dijual ke pasar dunia tanpa mengubah struktur ekonomi tradisional milik pribumi. Itu merupakan sistem yang diterapkan agar tanaman Indonesia yang cocok dengan pasaran dunia dapat menghasilkan keuntungan bagi pemerintahan. Sedang masyarakat pribumi dengan ekonomi tradisionalnya berada dalam posisi stagnan. Itulah dualisme ekonomi (Geertz, 1983:49-50). Kemungkinan, pada prinsipnya memang sengaja diterapkan model-model tersebut agar keuntungan yang diperoleh dapat dimiliki oleh orang-orang yang berada dibalik ekonomi kapitalis. Mereka sengaja menciptakan kondisi dualisme ekonomi. Masalahnya, memang kapitalisme saat itu tidak relevan didalam strukur sosial masyarakat pribumi.
Indonesia dengan daerah alamnya yang tropis, menurut Boeke dengan dualisme ekonominya serta Furnivall dengan plural ekonomi menyatakan bahwa pembauran antara masyarakat Eropa dengan pribumi tidak bisa terjadi. Bagaikan air dan minyak (Lombard, 2008:220). Perubahan-perubahan drastis dilakukan oleh pemerintah kolonial demi meningkatkan hasil pertanian, yang pada saat itu berbeda dengan tanaman-tanaman masa Tanam Paksa. Bisa dikatakan bukan pertanian, melainkan perkebunan. Perubahan tadi banyak terjadi di Jawa. Contohnya, Jawa Barat menghasilkan kina, teh , karet. Lalu Jawa Tengah dengan kopi, tembakau dan tebu. Sedang Jawa Timur memproduksi tebu dan kopi. Tanaman-tanaman yang dihasilkan tiga daerah tadi merupakan tanaman ekspor baru. Mereka menggeser posisi tanaman sawah, seperti padi atau palawija. Model tanaman sektor ekspor tadi membuat tanaman sektor domestik menjadi anjlok. Model perkebunan baru atau tanaman sektor ekspor adalah investasi bagi asing. Seperti yang sudah disampaikan diatas, bahwa ekonomi kapital mengandalkan modal yang diperoleh dari swasta. Dan yang dimaksud dengan swasta kebanyakan adalah penduduk asing.
Perubahan dari pertanian menjadi perkebunan mungkin membuat kaget masyrakat Jawa. Adapun pernyataan Geertz dalam (Nagazumi, 1986:19) yaitu:
dengan kondisi baru tadi menghasilkan beberapa gejala tersendiri. Pertama, sifat “pasca tradisional” dari struktur sosial di desa-desa. Kedua, sistem kepemilikan tanah menjadi semakin kuat. Ketiga, pengembangan palawija. Keempat, shared poverty menjadi semakin parah dalam pembagian kesempatan kerja serta pendapatan. Dan kondisi tadi bukan menghasilkan golongan kaya atau miskin. Namun golongan cukupan dan golongan kekurangan.
Struktur ekonomi milik pribumi memang tidak diubah. Namun sektor ekspor dan sektor domestik menjadi berkembang sendiri. Sektor ekspor diwakili oleh kapitalisme administratif. Mereka mengatur harga penjualan dan upah bagi tanam ekspor baru tadi serta mengontrol pengeluaran dan proses produksi. Sedangkan sektor domestik diwakili pertanian keluarga. Industri rumah kecil-kecilan dan perdagangan. Kondisi itu menyebabkan ketimpangan. Saat ekspor tanaman baru sedang berkembang dan harga barang dagang dunia naik, mengakibatkan sektor domestik menurun. Masyarakat pribumi yang menjadi petani beserta tanahnya harus mengolah tebu, nila, kopi dan tembakau. Bukan padi atau palawija. Sebaliknya, disaat sektor domestik yang meningkat, petani berusaha mengintensifkan tanaman subsistensi seperti padi, palawija dan lain-lain yang notabenya makanan pokok mereka (Geertz, 1983:50)

C.    Dampak Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia
Sebenarnya tentang analisa yang dijabarkan oleh Geertz dalam bukunya Involusi Pertanian yang ditentang oleh Collier dalam bukunya yang berjudul Agricultural Evolution in Java: The Decline of Shared Poverty and Involution. Menurut Collier, yang diteliti oleh Geertz mengesampingkan antara golongan pemilik tanah dan golongan tidak bertanah. Geertz tidak menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya beberapa perkembangan yang terjadi memperlihatkan tentang ketidaksetujuan analisa Geertz yang menjelaskan involusi pertanian dengan bertambahnya penduduk dan pemakaian tenaga yang lebih banyak atas tanah-tanah.
Sistem pertanian atau persawahan pada dasarnya memanfaatkan pajak tanah (hak upeti raja) dan tenaga kerja. Lahan sawah tadi harus diserahkan untuk ditanami perkebunan gula. Otomatis tenaga kerja juga harus diserahkan. Perkebunan tebu memang cocok pada lahan sawah dan membutuhkan irigasi (Ham, 2002:66). Pemodal swasta dapat berkembang saat itu karena “kerjasama” dengan pemerintah kolonial dalam hal tanah atau tenaga kerja. Taktik yang dipakai sengaja untuk mematikan kondisi petani pribumi supaya dalam posisi statis dan membuat tanah persawahannya makin sempit.
Kehidupan petani pribumi kala itu sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Namun karena kondisi baru yang ada memaksa mereka untuk merubah hidup. Dikenalnya ekonomi uang dan kepemilikan tanah makin sempit. Perubahan sosial perlahan-perlahan terjadi. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi demografi serta kebijakan pemerintah (Padmo, 2004:52). Petani pribumi saat itu memang terikat kontrak dengan pengusaha perkebunan swasta. Biarpun petani mempunyai hak yang kuat atas tanah mereka. Kontrak adalah ciri-ciri dari sistem ekonomi kapital. Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial demi kepentingan negara induk agar mendapatkan barang dagangan orientasi pasar dunia, seperti gula, karet, tembakau dll (Padmo, 2004:52-53).
Jadi semenjak adanya sistem perkebuna yang dikuasai oleh swasta, kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan lama-lama berubah. Tapi bukan berarti merteka menjadi kapitalistik. Namun mereka mulai mengerti pasar serta lalu lintas keuangan, intinya mendapatkan alat-alat penukaran dualistis (Boeke & Burger, 1973:79). Kondisi ekonomi dualistis dengan dua sistem ekonomi yang berbeda memang tidak bisa menyatu. Sistem ekonomi tradisional yang cenderung komunal, lingkup spasialnya pada rumah tangga serta masih menggunakan kerajinan tangan, hubungannya patriarkal (buruh dan majikan). Mereka harus berdampingan dengan sistem ekonomi kapital yang individualisme, ruang lingkupnya perusahaan dan memakai teknologi mesin, hubungannya kerja dengan sistem kontrak. Kondisi dua sistem adalah pedesaan milik tradisonal, sedang perkotaan adalah kapitalisme (Boeke & Burger :82-83).
Ekonomi dualistik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada dasarnya untuk menekan agar masyarakat pribumi terus bertahan dengan ekonomi tradisionalnya. Pemerintahan Kolonial bekerjasama dengan swasta asing. Dan disini para swasta punya modal yang cukup untuk menyogok pemerintah agar tanah milik para petani dapat dipakai demi lahan perkebunan. Pengusaha swasta asing kebanyakan para orang Cina, Timur Asing dan bangsa Eropa. Namun ternyata bukan mereka saja, para raja Jawa juga ikut menjadi pemodal. Investasi yang mereka tanamkan pada perkebunan membawa dampak yang besar bagi pemerintah kolonial. Kondisi seperti itu mengakibatkan lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Namun adaptasi dari pribumi lokal dengan sistem tadi secara perlahan-lahan. Sistem ekonomi tradisional susah untuk menyatu dengan sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis membawa dampak yang besar karena menghasilkan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak-pihak lokal ataupun asing.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan ekonomi yang terjadi saat Belanda menduduki Indonesia ternyata memakai model-model yang berbeda. Baik pada masa VOC ataupun kolonial. Sistem yang diterapkan pada dasarnya berusaha memakai model konsep ekonomi barat. Sistem ekonomi barat dapat merusak struktur sosial yang sudah ada. Sebelum bangsa Barat mulai menjajah Pulau Jawa, perekonomian Jawa masih digerakan oleh rakyat dengan ditandai kesibukan sehari-hari rakyat yang hidup sebagai petani, nelayan dan pedagang. Sehingga dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa pada saat itu masih bersifat tradisisonaln karena motivasi pendorong masayarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut masyarakat juga masih dipengaruhi oleh tradisi, yaitu tingkah laku masyarakat yang masih terikat pad pola-pola tertentu seperti: penentuan upah, pembagian kerja, pembagian jam kerja dan penggunaan peralatan modal yang masih bersifat tradisional (Soetrisno, 1984:120).
Kapitalisme dalam ekonomi merupakan sebuah model yang lebih maju ketimbang sistem ekonomi tradisional. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dinamis, sedang ekonomi tradisional cenderung statis. Kapitalisme memakai modal-modal yang dimiliki oleh swasta. Sedangkan ekonomi tradisional masih mementingkan asas kekeluargaan atau kebersamaan. Masing-masing, baik ekonomi kapitalisme dan tradisional tidak dapat berkembang bersama. Mereka berdiri sendiri-sendiri saat proses perekonomian berjalan. Model perekonomian yang seperti itu dikenal sebagai ekonomi dualistis. Dan dalam sistem tradisional, relasi yang digunakan dengan prinsip sosial dan kultural.
Kehidupan petani pribumi kala itu sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Namun karena kondisi baru yang ada memaksa mereka untuk merubah hidup. Dikenalnya ekonomi uang dan kepemilikan tanah makin sempit. Perubahan social

perlahan-perlahan terjadi. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi demografi serta kebijakan pemerintah (Padmo, 2004:52). Petani pribumi saat itu memang terikat kontrak dengan pengusaha perkebunan swasta. Biarpun petani mempunyai hak yang kuat atas tanah mereka. Kontrak adalah ciri-ciri dari sistem ekonomi kapital. Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial demi kepentingan negara induk agar mendapatkan barang dagangan orientasi pasar dunia, seperti gula, karet, tembakau dll
B.  Saran
Makalah ini masih jauh dari kesmepurnaan, maka dari itu dibutuhkan kritik maupun saran yang membangun agar makalah yang dapat kami sajikan kepada pembaca secara maksimal dan pengetahuan serta wawasan semakin bertambah. Juga berbagai masukan yang positif dan bermanfaat bagi kedepannya.














DAFTAR RUJUKAN

Ahmady, I. 2010. Java Collapse: Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo. Yogyakarta: INSIST Press.

Boeke, J.H. dan D.H. Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara

Depdikbud. 1978. Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta: Depdikbud.

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Ham, Ong Hok. 2002. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Jakarta: Kompas

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia

Malano, H. 2011. Selamatkan Pasar Tradisional. Jakarta: Kompas Gramedia.

Nagazumi,Akira. 1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Soegijanto Padmo. 2004. Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media

Soetrisno. 1984. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.