DUALISME
EKONOMI PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Kasimanuddin Ismain
Oleh:
M. Alfan Nurofi 130731615711
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
Oktober 2015
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR
ISI ............................................................................................................. i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan
Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia.........................................
3
B. Terjadinya
Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia...................... 4
C. Dampak Dualisme
Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia..........................
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 9
B. Saran ......................................................................................................... 10
DAFTAR
RUJUKAN.............................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada sejarah perkembangan
perekonomian Indonesia telah mengalami tahapan-tahapan sistem perekonomian
mulai dari yang paling sederhana hingga menuju sistem perekonomian yang lebih
maju. Pada tahapan sistem ekonomi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap
pra kapitalisme, tahap kapitalisme dan tahap post kapitalisme (dualisme
ekonomi). Pada tahap pra kapitalisme ini dinamakan dengan sistem ekonomi
tradisional. Yang mana pendorong motivasi masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonomi yang paling kuat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Biasanya pada
sistem ekonomi tradisional ini, masyarakat lebih condong pada kegiatan sektor
pertanian. Kemudian pada tahap kapitalisme ini biasa dinamakan dengan sistem
ekonomi modern. Pada tahapan kapitalisme ini dibagi juga menjadi tiga tahapan
yakni tahap permulaan, tahap tingkat tinggi dan tingkat akhir. Pada tingkat
permulaan motivasinya adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu
yang singkat saat transaksi penjualan produk. Sedangkan pada kapitalisme yang
tingkat tinggi motivasinya adalah memperluas penjualan produk dengan
memperbanyak cabang industri seluruh, kemudian berubah menjadi usaha sosial
dengan membantu memajukan pendidikan, memberantas kemiskinan dan infrastuktur,
yang pada tingkat akhirnya kegiatan perekonomian tertuju pada kepentingan masyarakat ( Soetrisno,
1984:118).
Pada proses masuknya
ekonomi kapitalisme ini terjadi pada saat
bangsa barat mulai menjajah Indonesia. Tetapi setelah pasca kapitalisme
ini, terjadilah keseimbangan antara sekonomi kapitalis dengan ekonomi
tradsional. Dari adanya kedua sistem ekonomi yang berdampingan dengan sifat
yang berbebda tersebut oleh J.H Boeke disebut dengan istilah sistem dualistik (dualistische economie)
(Soetrisno, 1984:119). Tetapi dalam hal
tersebut dapat diketahui bahwa dualisme ekonomi pada masa pemerintahan kolonial
Belanda kurang berjalan baik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
keadaan ekonomi masa kolonial di Indonesia?
2. Bagaimana
terjadinya dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia?
3. Bagaimana
dampak dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
keadaan ekonomi masa kolonial di Indonesia
2. Memaparkan
terjadinya dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia
3. Menjelaskan
dampak dualisme ekonomi masa kolonial di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia
Perkembangan
ekonomi yang terjadi saat Belanda menduduki Indonesia ternyata memakai
model-model yang berbeda. Baik pada masa VOC ataupun kolonial. Sistem yang
diterapkan pada dasarnya berusaha memakai model konsep ekonomi barat. Apabila
sepenuhnya sistem dari barat diterapkan pada perekonomian saat itu ternyata
tidak relevan. Masyarakat pribumi pada umunya masih memakai konsep ekonomi
tradisional. Sistem ekonomi barat dapat merusak struktur sosial yang sudah ada.
Sebelum
bangsa Barat mulai menjajah Pulau Jawa, perekonomian Jawa masih digerakan oleh
rakyat dengan ditandai kesibukan sehari-hari rakyat yang hidup sebagai petani,
nelayan dan pedagang (Depdikbud, 1978:48). Sehingga dapat dikatakan bahwa
perekonomian Jawa pada saat itu masih bersifat tradisisonaln karena motivasi
pendorong masayarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut hanya ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Soetrisno (1984:120) “Selain dalam melakukan
kegiatan ekonomi tersebut masyarakat juga masih dipengaruhi oleh tradisi, yaitu
tingkah laku masyarakat yang masih terikat pad pola-pola tertentu seperti
penentuan upah, pembagian kerja, pembagian jam kerja dan penggunaan peralatan
modal yang masih bersifat tradisional”.
Pada
tingkah laku masyarakat tradisional Jawa dalam kegiatan ekonomi tersebut dapat
dilihat dari kebiasaannya seperti menanam padi. Kegiatan perekonimian erat
hubungannya denga pasar tradisional. Pada pasar tradisional ini lahir dari ekinginan
manusia dalam mempeproleh bahan kebutuhan dimana terjadi transaksi antar
manusia. Transaksi tersebut terjadi misalnya anatar petani, peternak, nelayan
terjadi tukar menukar hasil produksi mereka masing-masing. Malano (2011:1) mengatakan “Pertukaran
tersebut pada awalnya berlangsung diberbagai tempat, tetapi lama kelamaan
tercapai kesepakatan bersama untuk menentukan suatu lokasi yang menajdi pusat
barter”.
Dan
pada masa itu kedaulatan raja mataram lah yang masih dipegang oleh masyarakat.
Baru setelah mataram mulai mengalami kemunduruan sampai berujung pada
perjanjian Gianti yang menandai berakhirnya kedaulatan Mataram karena sudah
takluk pada pemerintah Belanda waktu itu. Dari sinilah kemudian pihak VOC atau
Belanda mulai melakukan aksinya di Indonesia khususnya Jawa. Pola relasi
feodalistik desa dan pusat-pusat kekuasaan, di mana desa-desa memberikan upeti
atau hasil panennya kepada raja tanpa diganti masih tetap berlangsung. Melalui
relasi semacam ini VOC dapat mengeruk keuntungan dari perdagangan dengan para
raja dan elit lokal. Perjanjian Gianti juga menjadi awal dari Kapitalisme
Belanda di Jawa. Pada tahap ini, Belanda mengembangkan Kapitalisme permulaan,
yaitu dengan mencari laba sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sebenarnya
VOC tidak memiliki kebebasan untuk menguasai tenaga kerja di seluruh Jawa.
Setelah Priangan jatuh ke tangan VOC, kemudian mereka memberlakukan Priangan
stelsel di tempat itu. Priangan stelsel merupakan strategi VOC untuk
mengerahkan tenaga rakyat lokal melalui seruan bupati dan adipati untuk menanam kopi di sebagian lahan mereka. Kopi
itu kemudian dibeli VOC dengan harga yang dipatok sepihak. Kopi merupakan
sumber pendapatan penting bagi VOC. Di wilayah lain, seperti pesisir utara dan
timur Jawa, VOC juga melakukan kesepakatan yang sama dengan para penguasa lokal
untuk menambah kas negara melalui sektor agraria. Namun bedanya, VOC tidak
turun langsung ke lapangan. Mereka menyerahkan mekanisme produksi ke para
pejabat lokal agar alir hasil produksi terjamin untuk VOC. Pada akhir abad ke
18, VOC mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan tersebut karena VOC hanya
mengandalkan monompoli perdagangan saja, tidak melakukan kendali langsung atas
produksi, ditambah dengan korupsi oleh pejabat VOC. Akhirnya pada tahun 1799,
VOC yang korup dan selalu merugi dibubarkan (Ahmad, 2010:65).
B.
Terjadinya
Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia
Kapitalisme
dalam ekonomi merupakan sebuah model yang lebih maju ketimbang sistem ekonomi
tradisional. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dinamis, sedang ekonomi
tradisional cenderung statis. Kapitalisme memakai modal-modal yang dimiliki
oleh swasta. Sedangkan ekonomi tradisional masih mementingkan asas kekeluargaan
atau kebersamaan. Masing-masing, baik ekonomi kapitalisme dan tradisional tidak
dapat berkembang bersama. Mereka berdiri sendiri-sendiri saat proses
perekonomian berjalan. Model perekonomian yang seperti itu dikenal sebagai
ekonomi dualistis. Dan dalam sistem tradisional, relasi yang digunakan dengan
prinsip sosial dan kultural.
Geertz,
dalam (Nagazumi,
1986:15-16) membagi tahap-tahap proses perekonomian yang dipakai Belanda saat
menguasai Indonesia dalam tiga periode, Yaitu masa VOC (abad 17-18), Sistem
Tanam Paksa (1830-1870), Sistem Perkebunan Swasta (1870-1941). Dari tiga
periode tadi sistem Tanam Paksa adalah masa dimana pola ekonomi dualistis mulai
maju dan munculnya involusi. Lalu ekonomi dualistis dan involusi maju dengan
pesat terjadi pada masa Perkebunan Swasta.
Pada
masa itulah menurut Geertz, sektor ekspor dan impor dalam kondisi yang tidak
seimbang. Sistem ekonomi tradisional yang mengandalkan pertanian kolonial
dipaksa untuk mengikuti sektor ekspor yang sedang berkembang didunia dengan
pola ekologi. Itu merupakan ciri tetap perekoniman kita saat dikuasai Belanda
antara 1619-1942 (Nagazumi, 1986:15). Pada kurun waktu 1619-1942, Belanda
mengembangkan produk pertanian agar bisa dijual ke pasar dunia tanpa mengubah
struktur ekonomi tradisional milik pribumi. Itu merupakan sistem yang
diterapkan agar tanaman Indonesia yang cocok dengan pasaran dunia dapat
menghasilkan keuntungan bagi pemerintahan. Sedang masyarakat pribumi dengan ekonomi
tradisionalnya berada dalam posisi stagnan. Itulah dualisme ekonomi (Geertz, 1983:49-50).
Kemungkinan, pada prinsipnya memang sengaja diterapkan model-model tersebut
agar keuntungan yang diperoleh dapat dimiliki oleh orang-orang yang berada
dibalik ekonomi kapitalis. Mereka sengaja menciptakan kondisi dualisme ekonomi.
Masalahnya, memang kapitalisme saat itu tidak relevan didalam strukur sosial
masyarakat pribumi.
Indonesia
dengan daerah alamnya yang tropis, menurut Boeke dengan dualisme ekonominya serta
Furnivall dengan plural ekonomi menyatakan bahwa pembauran antara masyarakat
Eropa dengan pribumi tidak bisa terjadi. Bagaikan air dan minyak
(Lombard, 2008:220). Perubahan-perubahan drastis dilakukan oleh pemerintah
kolonial demi meningkatkan hasil pertanian, yang pada saat itu berbeda dengan
tanaman-tanaman masa Tanam Paksa. Bisa dikatakan bukan pertanian, melainkan
perkebunan. Perubahan tadi banyak terjadi di Jawa. Contohnya, Jawa Barat
menghasilkan kina, teh , karet. Lalu Jawa Tengah dengan kopi, tembakau dan tebu.
Sedang Jawa Timur memproduksi tebu dan kopi. Tanaman-tanaman yang dihasilkan
tiga daerah tadi merupakan tanaman ekspor baru. Mereka menggeser posisi tanaman
sawah, seperti padi atau palawija. Model tanaman sektor ekspor tadi membuat
tanaman sektor domestik menjadi anjlok. Model perkebunan baru atau tanaman
sektor ekspor adalah investasi bagi asing. Seperti yang
sudah disampaikan diatas, bahwa ekonomi kapital mengandalkan modal yang
diperoleh dari swasta. Dan yang dimaksud dengan swasta kebanyakan adalah
penduduk asing.
Perubahan
dari pertanian menjadi perkebunan mungkin membuat kaget masyrakat Jawa. Adapun
pernyataan Geertz dalam (Nagazumi,
1986:19) yaitu:
dengan kondisi baru tadi
menghasilkan beberapa gejala tersendiri. Pertama, sifat “pasca tradisional”
dari struktur sosial di desa-desa. Kedua, sistem kepemilikan tanah menjadi
semakin kuat. Ketiga, pengembangan palawija. Keempat, shared poverty menjadi semakin parah dalam pembagian kesempatan
kerja serta pendapatan. Dan kondisi tadi bukan menghasilkan golongan kaya atau
miskin. Namun golongan cukupan dan golongan kekurangan.
Struktur ekonomi milik
pribumi memang tidak diubah. Namun sektor ekspor dan sektor domestik menjadi
berkembang sendiri. Sektor ekspor diwakili oleh kapitalisme administratif.
Mereka mengatur harga penjualan dan upah bagi tanam ekspor baru tadi serta
mengontrol pengeluaran dan proses produksi. Sedangkan sektor domestik diwakili
pertanian keluarga. Industri rumah kecil-kecilan dan perdagangan. Kondisi itu
menyebabkan ketimpangan. Saat ekspor tanaman baru sedang berkembang dan harga
barang dagang dunia naik, mengakibatkan sektor domestik menurun. Masyarakat
pribumi yang menjadi petani beserta tanahnya harus mengolah tebu, nila, kopi
dan tembakau. Bukan padi atau palawija. Sebaliknya, disaat sektor domestik yang
meningkat, petani berusaha mengintensifkan tanaman subsistensi seperti padi,
palawija dan lain-lain yang notabenya makanan pokok mereka (Geertz, 1983:50)
C.
Dampak
Dualisme Ekonomi Masa Kolonial di Indonesia
Sebenarnya
tentang analisa yang dijabarkan oleh Geertz dalam bukunya Involusi Pertanian yang ditentang oleh Collier dalam bukunya yang
berjudul Agricultural Evolution in Java:
The Decline of Shared Poverty and Involution. Menurut Collier, yang
diteliti oleh Geertz mengesampingkan antara golongan pemilik tanah dan golongan
tidak bertanah. Geertz tidak menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya
beberapa perkembangan yang terjadi memperlihatkan tentang ketidaksetujuan
analisa Geertz yang menjelaskan involusi pertanian dengan bertambahnya penduduk
dan pemakaian tenaga yang lebih banyak atas tanah-tanah.
Sistem
pertanian atau persawahan pada dasarnya memanfaatkan pajak tanah (hak upeti
raja) dan tenaga kerja. Lahan sawah tadi harus diserahkan untuk ditanami
perkebunan gula. Otomatis tenaga kerja juga harus diserahkan. Perkebunan tebu
memang cocok pada lahan sawah dan membutuhkan irigasi (Ham, 2002:66). Pemodal
swasta dapat berkembang saat itu karena “kerjasama” dengan pemerintah kolonial
dalam hal tanah atau tenaga kerja. Taktik yang dipakai sengaja untuk mematikan
kondisi petani pribumi supaya dalam posisi statis dan membuat tanah
persawahannya makin sempit.
Kehidupan
petani pribumi kala itu sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Namun karena
kondisi baru yang ada memaksa mereka untuk merubah hidup. Dikenalnya ekonomi
uang dan kepemilikan tanah makin sempit. Perubahan sosial perlahan-perlahan
terjadi. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi demografi serta kebijakan
pemerintah (Padmo, 2004:52). Petani pribumi saat itu memang terikat kontrak
dengan pengusaha perkebunan swasta. Biarpun petani mempunyai hak yang kuat atas
tanah mereka. Kontrak adalah ciri-ciri dari sistem ekonomi kapital. Hal itu
dilakukan oleh pemerintah kolonial demi kepentingan negara induk agar
mendapatkan barang dagangan orientasi pasar dunia, seperti gula, karet,
tembakau dll (Padmo, 2004:52-53).
Jadi
semenjak adanya sistem perkebuna yang dikuasai oleh swasta, kondisi sosial
ekonomi masyarakat pedesaan lama-lama berubah. Tapi bukan berarti merteka
menjadi kapitalistik. Namun mereka mulai mengerti pasar serta lalu lintas
keuangan, intinya mendapatkan alat-alat penukaran dualistis (Boeke & Burger, 1973:79).
Kondisi ekonomi dualistis dengan dua sistem ekonomi yang berbeda memang tidak
bisa menyatu. Sistem ekonomi tradisional yang cenderung komunal, lingkup
spasialnya pada rumah tangga serta masih menggunakan kerajinan tangan,
hubungannya patriarkal (buruh dan majikan). Mereka harus berdampingan dengan
sistem ekonomi kapital yang individualisme, ruang lingkupnya perusahaan dan
memakai teknologi mesin, hubungannya kerja dengan sistem kontrak. Kondisi dua
sistem adalah pedesaan milik tradisonal, sedang perkotaan adalah kapitalisme (Boeke & Burger :82-83).
Ekonomi dualistik yang
diterapkan oleh pemerintah kolonial pada dasarnya untuk menekan agar masyarakat
pribumi terus bertahan dengan ekonomi tradisionalnya. Pemerintahan Kolonial
bekerjasama dengan swasta asing. Dan disini para swasta punya modal yang cukup
untuk menyogok pemerintah agar tanah milik para petani dapat dipakai demi lahan
perkebunan. Pengusaha swasta asing kebanyakan para orang Cina, Timur Asing dan
bangsa Eropa. Namun ternyata bukan mereka saja, para raja Jawa juga ikut
menjadi pemodal. Investasi yang mereka tanamkan pada perkebunan membawa dampak
yang besar bagi pemerintah kolonial. Kondisi seperti itu mengakibatkan lahan
pertanian menjadi semakin berkurang. Namun adaptasi dari pribumi lokal dengan sistem
tadi secara perlahan-lahan. Sistem ekonomi tradisional susah untuk menyatu
dengan sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis membawa dampak yang besar
karena menghasilkan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak-pihak lokal ataupun
asing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan
ekonomi yang terjadi saat Belanda menduduki Indonesia ternyata memakai
model-model yang berbeda. Baik pada masa VOC ataupun kolonial. Sistem yang
diterapkan pada dasarnya berusaha memakai model konsep ekonomi barat. Sistem
ekonomi barat dapat merusak struktur sosial yang sudah ada. Sebelum
bangsa Barat mulai menjajah Pulau Jawa, perekonomian Jawa masih digerakan oleh
rakyat dengan ditandai kesibukan sehari-hari rakyat yang hidup sebagai petani,
nelayan dan pedagang. Sehingga dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa pada
saat itu masih bersifat tradisisonaln karena motivasi pendorong masayarakat
dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut hanya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Selain itu dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut masyarakat
juga masih dipengaruhi oleh tradisi, yaitu tingkah laku masyarakat yang masih
terikat pad pola-pola tertentu seperti: penentuan upah, pembagian kerja,
pembagian jam kerja dan penggunaan peralatan modal yang masih bersifat
tradisional (Soetrisno, 1984:120).
Kapitalisme
dalam ekonomi merupakan sebuah model yang lebih maju ketimbang sistem ekonomi
tradisional. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dinamis, sedang ekonomi
tradisional cenderung statis. Kapitalisme memakai modal-modal yang dimiliki
oleh swasta. Sedangkan ekonomi tradisional masih mementingkan asas kekeluargaan
atau kebersamaan. Masing-masing, baik ekonomi kapitalisme dan tradisional tidak
dapat berkembang bersama. Mereka berdiri sendiri-sendiri saat proses
perekonomian berjalan. Model perekonomian yang seperti itu dikenal sebagai
ekonomi dualistis. Dan dalam sistem tradisional, relasi yang digunakan dengan
prinsip sosial dan kultural.
Kehidupan petani pribumi kala itu sangat menjunjung
tinggi kebersamaan. Namun karena kondisi baru yang ada memaksa mereka untuk
merubah hidup. Dikenalnya ekonomi uang dan kepemilikan tanah makin sempit.
Perubahan social
perlahan-perlahan
terjadi. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi demografi serta kebijakan
pemerintah (Padmo, 2004:52). Petani pribumi saat itu memang terikat kontrak
dengan pengusaha perkebunan swasta. Biarpun petani mempunyai hak yang kuat atas
tanah mereka. Kontrak adalah ciri-ciri dari sistem ekonomi kapital. Hal itu
dilakukan oleh pemerintah kolonial demi kepentingan negara induk agar
mendapatkan barang dagangan orientasi pasar dunia, seperti gula, karet,
tembakau dll
B.
Saran
Makalah ini masih jauh dari kesmepurnaan, maka dari
itu dibutuhkan kritik maupun saran yang membangun agar makalah yang dapat kami
sajikan kepada pembaca secara maksimal dan pengetahuan serta wawasan semakin
bertambah. Juga berbagai masukan yang positif dan bermanfaat bagi kedepannya.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmady, I. 2010. Java
Collapse: Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo. Yogyakarta: INSIST Press.
Boeke, J.H.
dan D.H. Burger. 1973. Ekonomi Dualistis:
Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara
Depdikbud. 1978. Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud.
Geertz,
Clifford. 1983. Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
Ham, Ong
Hok. 2002. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi
Blorong. Jakarta: Kompas
Lombard,
Denys. 2008. Nusa Jawa I: Batas-Batas
Pembaratan. Jakarta: Gramedia
Malano, H. 2011. Selamatkan Pasar Tradisional. Jakarta:
Kompas Gramedia.
Nagazumi,Akira.
1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana
Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek
Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Soegijanto
Padmo. 2004. Bunga Rampai Sejarah
Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Soetrisno. 1984. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Andi Offset.